Popular posts

Diberdayakan oleh Blogger.
On Minggu, 17 April 2011

PancasilaTulisan ini hasil ‘reportase bebas’ dari maiyah di Monumen 31 Maret Yogyakarta yang disupport oleh kompas.

Mungkin aku yang tak mengerti, dan masih awam untuk memahami Pancasila. Dulu waktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, seringkali mengikuti penataran pancasila atau biasa dikenal dengan penataran P4. Seakan-akan Pancasila termasuk bagian ideologi yang sejajar dengan agama. Heran juga sih. Karena ketika sekarang sudah belajar sedikit demi sedikit pelajaran bahasa Indonesia, justru aku melihat banyak kesalahan redaksional dan substansial pada pancasila.

Coba kita baca bersama, sila pertama dari Pancasila yang berbunyi ‘Ketuhanan yang Maha Esa.’ Sekilas kita baca sila tersebut terasa tidak ada yang janggal. Tetapi boleh anda teliti satu persatu kata, imbuhan, dan preposisinya. Pasti terasa janggalnya. Kita mulai dengan bertanya, yang Maha Esa itu Tuhan atau Ketuhanan? Kalau dalam surat al-ikhlas sangat jelas bahwa yang ahad itu Allah bukan keAllahan.
Tuhan dan keTuhanan itu sama halnya dengan jeruk dan rasa jeruk. Anda bisa minum sirup rasa jeruk, tanpa jeruk. Sekarang yang terjadi banyak diantara kita yang minum sirup rasa jeruk, tanpa benar-benar pernah mengenal sejatinya jeruk.


Akan geli lagi, kalau ketuhanan yang Maha Esa itu dilambangi dengan bintang. Apa pula maksudnya itu? Bintang itu ciptaan Tuhan, maka dilarang keras untuk melambangi yang menciptakannya. Tuhan tak marah, tetapi justru itu yang akan menetukan nasib kita, karena Pancasila nilai dasar kebangsaan dan kenegaraan kita. Yang kita tahu dulu waktu masih TK, kita biasa menembangkan lagu ‘bintang kecil dilangit yang biru.’ Kalau bintang sebagai lambang Tuhan, sama juga kita dan anak kita dididik untuk mengecil-kecilkan Tuhan.


Riskan lagi, kalau kita sempat jalan-jalan di supermarket, sekarang bir sudah biasa diperjualbelikan disana. Salah satu minuman keras itu ada yang bermerk ‘bir bintang.’ Kita jadi berseloroh, ‘wah Tuhan dijadikan merk bir’ padahal kita tahu kan, dalam al-Qur’an disebutkan Jangan kau mendekati shalat, selama kau mabuk, tak sadar diri. Mendekati Tuhan dengan tak sadar saja, kita tidak boleh, apalagi menjadikan Tuhan sebagai brand bir.
Distorsi tersebut juga sesuai kenyataan yang menimpa manusia Indonesia. Anda bisa membaca buku Gurita Cikeas yang menjlentrehkan data bahwa sekitar 250 ulama dan habib, umroh dibiayai dengan uang rakyat. Itu sama juga ibadah dengan tak sadar diri, mabuk, karena para alim, habib itu tak sempat mencari tahu uang siapa, dari mana, halal atau haram? Padahal dalam al-Qur’an telah jelas tegasnya ‘jangan kau berbuat sesuatu yang tak ada pengetahuan tentangnya’ Ujung-ujungnya kita boleh berkata, karena Tuhan dilambangi dengan bintang dan bintang menjadi logo bir bintang. Pantas saja ulama plus habaib ibadah dengan jurus mabuk.

Sejengkal kemudian kita menatap sila yang kedua. ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’. Pertanyaan mungkin masih sejenis, dengan bertanya yang harus adil dan beradab itu manusia atau kemanusiaannya. Kemanusiaan itu bisa diartikan rasa manusiawi. Kalau kita menyaksikan korban bencana, secara reflek rasa kemanusiaan kita muncul. Begitu kira-kira ungkapan contohnya. Kemanusiaan itu adalah sifat, maka mustahil disifati lagi. Itu sama juga dengan ungkapan ‘keasaman yang manis dan asin’. Maka sila kedua sebaiknya diganti dengan ‘manusia yang adil dan beradab.’

Kesalahan-kesalahan itu ternyata sekarang menimpa kenyataan bangsa Indonesia. Kita tak asing lagi sekiranya ada ungkapan, kita harus berantas terorisme. Maka timbul pertanyaan: Masak sih paham kok diberantas. Isme itu ideology, paham, atau ajaran, maka tak bisa diberantas secara fisik, karena ia ide yang hidup di alam pikiran. Kita bisa bertanya lagi, siapa yang melabeli terorisme, sehingga orang harus dikejar-kejar dan pahamnya diberantas. Imam Samudra pasti menolak kalau dirinya dan pahamnya di labeli sebagai terorisme. Kenapa tentara Israel, Amerika, yang membunuh ratusan ribu manusia tak pernah ada label terorisme atau teroris. Maka yang perlu diberantas adalah tindakan terorisme, bukan paham terorisme. Karena pelabelan selalu tidak sama dengan yang dilabeli, itu jelas tidak adil.

Tentunya kita semua tahu bahwa sila yang kedua ini dilambang dengan rantai. Pada kenyataannya memang benar bahwa kemanusiaan, keadilan dan keberadaban manusia Indonesia telah dirantai. Itukah permintaan para pencetus pancasila. Saya kira tidak. Tetapi apa pula maksud rantai itu? Akan lebih rancau bila di teliti sila-sila berikutnya. Bagaimana mungkin pohon beringin dijadikan lambang dari persatuan. Pernahkah manusia Indonesia mengadakan musyawarah di bawah rimbunnya pohon beringin yang dikenal wingit itu. Kerimbunan pohon beringin telah mematikan pohon-pohon kecil dibawahnya yang tak sempat menikmati biasnya cahaya matahari untuk membantu proses fotosintesisnya. Wallahu alaam

Tegalwangi Bantul 29 Agustus 2010
Ahmad Saifullah

Followers

Cari Blog Ini